Tidur Pulas di Malam Tahun Baru, Siapa Takut..?
Catatan : Amam Fakhrur
Di malam tahun baru, Rabo, 31 Desember 2019, sepulang dari kerja, sekitar mulai jam 21.00 WIB saya mulai tidur pulas, seolah tak peduli dengan jelang pergantian tahun. Tiba-tiba di jam 00.00 WIB, saya dibangunkan oleh kerasnya suara petasan, dor..,dor, dor-dor-dor-dor… … .Saya buka gorden kaca kamar,masih dengan rentetan dentuman suara petasan, saya memandang arah atas kota , penuh dengan luncuran dan kilatan kembang api yang meluncur kearah langit dari berbagai penjuru kota. Meski di malam itu sempat hujan, diberitakan warga tumpek blek di pusat dan panggung hiburan. Sebuah pemandangan ekspresi masyarakat menghadapi pergantian tahun baru.
Warga masyarakat yang lain mengisi malam pergantian tahun baru dalam bentuk sekedar nonton televisi di rumah, membakar ikan dan menyantap bersama warga atau dalam bentuk kegiatan lain yang dianggap lebih spiritualis, misalnya dengan menggelar do’a bersama dan mendengar tausyiyah. Beragam pemandangan ekspresi masyarakat menghadapi pergantian tahun baru. Telah banyak penilaian mengenai huukum merayakan tahun baru dari mulai yang mengharuskan diri, sekedar partisipasi sampai yang mengharamkannya.
Memang tahun masehi tidak tersejarah dengan peradaban Islam, baik dari asal usulnya maupun penamaan bulan-bulannya yang terdiri dari dua belas bulan itu, dari Januari sampai Desember. Sistem kalender masehi berdasarkan pada peredaran bumi mengelilingi matahari ( syamsiah solar system ) yang penanggalannya dimulai sejak kelahiran Nabi Isa Al-Masih. Kalender ini terkait dengan sejarah Romawi Kuno, terutama dalam hal penamaan bulannya. Dan kemudian sampai hari ini digunakan secara luas di dunia untuk komunikasi. Berbeda dengan kalender hijriyyah, ia system penanggalan yang disusun berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi ( lunar system ), ia sangat terkait kuat dengan peradaban Islam. Disebut hijriyyah karena penghitungannya dimulai sejak momentum hijrahnya ( pindahnya) Rasulullah Muhammad SAW dari Makkah ke Yatsrib (Madinah), dan sebagai tokoh yang sangat berjasa dalam penetapan kalender Hijriyyah ini adalah Khalifah Umar bin Khattab.
Meski tahun masehi tidak berakar dari sejarah peradaban Islam, namun saya sebagai muslim tidak tergesa-gesa ikut menilai hukumnya dalam memperingati pergantian tahunnya. Kesejarahan dan atribut budaya yang di luar peradaban Islam tidak serta merta menjadikan berhukum haram. Dalam aspek lain, kenyataannya ditemukan sejumlah atribut keagamaan dapat bercampur atau terasimilasi dengan atribut keagamaan yang lain dan hal itu akan beselancar sesuai dinamika yang terjadi. Arsitektur kubah masjid adalah hasil adopsi masa Khalifah Umar bin Khattab, dari peninggalan tradisi Romawi Kuno, setelah merebut Palestina dari kekuasaan Romawi pada tahun 637 M. Demikian juga tasbih, menara, bedug, baju taqwa dan atribut suatu keagamaan dapat bercampur dengan atribut keagamaan lainnya yang kemudian terkadang menjadi terkristalisasi dan diklaim hanya milik dan menjadi bagian agama tertentu. Sama saja saat kita memainkan peralatan musik, semisal angklung, gamelan, dan alat musik lainnya yang semula atribut yang lekat dengan agama Hindu Budha, apakah kita yang muslim lantas mengharamkan untuk memainkannya.
Semua budaya dan atribut itu adalah bebas nilai ( free value ), yang ketika dipergunakan tidak berarti dianggap melanggar hukum agama, terkecuali yang secara tegas dilarang oleh Tuhan. Pisau adalah tidak pernah salah, ia bebas nilai, jika dipergunakan untuk membunuh orang tanpa alasan, bukan pisaunya yang salah , prilakunya yang salah. Demikian pula soal memperingati tahun baru adalah bebas nilai, tergantung bagaimana mengisi dan menggunakannya.
Saya kira soal boleh tidaknya memperingati tahun baru adalah bukan soal kesejarahannya dan atributnya, akan tetapi terletak pada soal berpartisipasi dalam peringatan itu apakah terdapat ketidakbenaran, melewati batas, kenajisan, tidak peka lingkungan masyarakat, melanggar keyakinan (akidah) ataukah tidak. Lantas bila seseorang berpartisipasi, berkegiatan yang positif untuk perayaan tahun baru apakah tidak melawan Hasdits Nabi Muhammad SAW: “ man tasyabaha bi qoumin fa huwa minhum ” (Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut). Oh tidak, Hadits ini tidak boleh difahami secara literal , tetapi makna “menyerupai” itu adalah lebih kepada sifat ( adjective ) bukan kepada atribut identitasnya. Politik identitas memang perlu dan itu pernah diterapkan Nabi Muhammad SAW, tetapi di era ini tidaklah relevan mengaitkan perlunya politik identitas terkait dengan memperingati tahun baru. Oleh karena itu perlu diapresiasi memperingati tahun baru yang reflektif, produktif, dan membuat resolusi tahun depan dan untuk menjadi manusia yang lebih dekat dengan Tuhan (spiritualis).
Menjadi bermakna apa ketika memperingati tahun baru, kebaikan ( maslahat ) atau keburukan ( madlarat ) adalah yang menjadi penentu hukumnya. Sehingga perlunya memperingati atau tidak, nyaman atau tidak, terpulang kepada kita masing-masing. Soal di jelang tahun baru, saya terasa lebih nyaman dalam "sepi" tanpa mengirim ucapan " Happy New Year " kepada sesama, tanpa perayaan khusus, tanpa gebyar, tanpa atribut tahun baru, biarlah saya dicap ndeso . Saya punya titik demarkasi dalam menjalani hidup ini.
Biarlah saya sendiri yang menilai soal kenyamanan itu, yang akhirnya di malam tahun baru 2020 ini, saya memilih jalan "sepi" untuk tidur pulas, dan bermaksud bangun setelah rangkaian acara tahun baru selesai. Tetapi apa boleh buat di tengah malam itu saya dibangunkan oleh dentuman petasan, syukur kemudian saya melanjutkan tidur pulas itu. Tidur pulas di malam tahun baru, siapa takut.? Toh tetap terasa "ramai " meski dalam "sepi".
Wallahu a’lam.
Berita Terkait: