KONFIGURASI POLITIK DAN LEGISLASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
(Suatu Kajian tentang Positivisasi Fikih Muamalah dalam Perspektif Politik Hukum)
Oleh : Dr. H.Suhartono, S.Ag., SH., MH.[1]
Abstract :
Islamic law legislation is a form a law awareness in Islamic shariah wich both in sociological either in cultural are never been lost since the colonial system until now days political system. Along with the authority of Islamic court to judge the shariah economic cases as said ini Pasal 49 UU No. 3 Th. 2006 so the legislation of Islamic private law is become the best solution to fill the emptiness in shariah economic law and to make a positives of Islamic laws.
According to the historical notes, the way to the positivation of the Islamic law was not easy. So it is important to know about the political configuration and calculatinig the social, politic, culture and economic strength. Beside that, it also important to calculate about the law ethic, good side and bad side, fair or not, match or not about the law for society, because this has a strong relation whether this law will be obey in society.
Keywords: Political configuration, Legislation, Islamic law, Positivation, Islamic private law, political law.
Pendahuluan
Hukum adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik hukum cenderung mendiskripsikan pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan hukum. Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek yaitu proses pembentukan ius contitutum (hukum positif) dari ius contituendum (hukum yang akan dan harus ditetapkan) untuk memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum terkadang juga dikaitkan dengan kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu : “whatever the government choose to do or not to do”. Politik hukum juga didefinisikan sebagai pembangunan hukum.[2]
Hukum adalah hasil tarik-menarik berbagai kekuatan politik yang mengejawantah dalam produk hukum. Dalam hal ini Satjipto Raharjo menyatakan, bahwa hukum adalah instrumentasi dari putusan atau keinginan politik, sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu, dan dengan demikian medan pembuatan undang-undang menjadi medan perbenturan dan pergumulan kepentingan-kepentingan. Badan pembuat undang-undang akan mencerminkan konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang menjadi penting karena pembuatan undang-undang modern bukan sekadar merumuskan materi hukum secara baku berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan membuat putusan politik terlebih dahulu. Disamping konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang, intervensi-intervensi dari luar tidak dapat diabaikan dalam pembentukan undang-undang. Intervensi tersebut dilakukan terutama oleh golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik secara sosial, politik maupun ekonomi.[3] Di Indonesia intervensi pemerintah dalam bidang politik sudah lazim, begitu pula di negara-negara berkembang lainnya. Sejak zaman penjajahan Belanda sampai saat ini pemerintah sangat dominan di dalam mewarnai politik hukum di Indonesia.[4]
Menurut Mahfud MD, politik hukum juga mencakup pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum.[5] Juga mempertimbangkan etik hukum, baik buruknya, adil tidaknya, atau cocok tidaknya ketentuan-ketentuan hukum itu bagi masyarakat yang bersangkutan, karena hal itu ada hubungannya dengan ditaati atau tidaknya hukum itu dalam suatu masyarakat.[6]
Senada dengan pendapat Daniel S. Lev, politik hukum itu merupakan produk interaksi di kalangan elit politik yang berbasis kepada berbagai kelompok dan budaya. Ketika elit politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik, pengembangan hukum Islam dalam suprastruktur politik pun memiliki peluang yang sangat besar.[7] Begitupula sebaliknya ketika menengok sejarah pada masa penjajahan Belanda, posisi hukum Islam sangat termarjinalkan. Hukum Islam hanya dipandang sebagai hukum apabila diresepsi ke dalam hukum adat, itu pun dalam strata ketiga setelah hukum Eropah dan hukum Adat orang timur asing (Arab, China dan India).[8] Indonesia yang merupakan negara jajahan Belanda, telah mengalami masa berlangsungnya proses introduksi dan proses perkembangan sistem hukum asing ke dalam hukum masyarakat pribumi.[9]
Refleksi Perjalanan Politik Hukum Islam di Indonesia
Pada mulanya, politik kolonial Belanda sebenarnya cukup menguntungkan posisi hukum Islam, setidaknya sampai akhir abad ke 19 M dikeluarkannya Staatsblad No. 152 Tahun 1882 yang mengatur sekaligus mengakui adanya lembaga Peradilan Agama di Jawa dan Madura, merupakan indikasi kuat diterimanya hukum Islam oleh pemerintah kolonial Belanda. Dari sinilah muncul teori Receptio in Complexu yang dikembangkan oleh Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845 – 1927). Menurut ahli hukum Belanda ini hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, maka hukun Islam-lah yang berlaku baginya.[10] Dengan adanya teori receptio in Complexu maka hukum Islam sejajar dengan dengan sistem hukum lainnya.
Kondisi di atas tidak berlangsung lama, seiring dengan perubahan orientasi politik Belanda, kemudian dilakukan upaya penyempitan ruang gerak dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini telah mengantarkan hukum Islam pada posisi kritis. Melalui ide Van Vollenhoven (1874 – 1933) dan C.S. Hurgronje (1857 – 1936) yang dikemas dalam konsep Het Indiche Adatrecht yang dikenal dengan teori Receptie, menurut teori ini hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Jadi hukum adat yang menentukan ada tidaknya hukum Islam. Klaim provokatif dan distorsif ini sangat berpengaruh terhadap eksistensi hukum Islam ketika itu, oleh karenanya Hazairin menyebutnya sebagai teori “Iblis”.[11]
Dengan adanya teori Receptie ini, Belanda cukup punya alasan untuk membentuk sebuah komisi yang bertugas meninjau kembali wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Dengan bekal sebuah rekomendasi (usulan) dari komisi ini, lahirlah Staatsblad No. 116 Tahun 1937 yang berisi pencabutan wewenang Pengadilan Agama untuk menangani masalah waris dan lainnya. Perkara-perkara ini kemudian dilimpahkan kewenangannya kepada Landraad (Pengadilan Negeri).[12]
Legislasi Hukum Islam di Indonesia
Merekonstruksi catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif.
Perjuangan melegal-positifkan hukum Islam mulai menampakkan hasil ketika akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan konstitusional yuridis. Berbagai peraturan perundang-undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab fikih -yang dianggap representatif- telah disahkan oleh pemerintah Indonesia. Diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Khusus untuk yang terakhir, ia merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
Setelah lahirnya Undang-Undang yang berhubungan erat dengan nasib legislasi hukum Islam di atas, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaannya telah membuka kran lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai pendukung (subtansi hukumnya). Sehingga pada tahun 1991 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang berisi tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI). Terlepas dari pro dan kontra keberadaan KHI nantinya diproyeksikan sebagai Undang-Undang resmi negara (hukum materiil) yang digunakan di lingkungan Pengadilan Agama sebagai hukum terapan.
Perkembangan terakhir, sebagai tuntutan reformasi di bidang hukum khususnya lembaga peradilan dimulai dengan diamandemennya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang kini kembali direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Perubahan Undang-Undang diatas secara otomatis membawa efek berantai pada Peradilan Agama, sehingga Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga mengikuti jejak, yakni diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Lahirnya Undang-Undang di atas membawa lompatan besar hukum Islam dalam perkembangan hukum nasional. Sebab unsur-unsur hukum positif yang berupa nilai, norma, peraturan, pengadilan, penegakan hukum, dan kesadaran hukum masyarakat menjadi sempurna. Dengan demikian hukum Islam yang telah menjadi bagian hukum nasional dengan sempurna ialah hukum perkawinan, hukum waris, hukum hibah serta wasiat, hukum wakaf, hukum zakat dan hukum bisnis Islam (ekonomi syari’ah). Perubahan tersebut sebenarnya merupakan tantangan bagi Peradilan Agama dalam bidang organisasi, sumber daya manusia, sarana dan prasarana. Oleh karena itu perubahan tersebut merupakan amanat yang sangat berat bagi jajaran Pengadilan Agama.[13]
Adanya kewenangan baru di atas, semakin menguatkan eksistensi hukum Islam dalam sistem hukum nasional, namun permasalahannya bertambahnya kewenangan baru tersebut belum diimbangi dengan adanya hukum substansial, sehingga hakim kembali dihadapkan pada kitab-kitab fikih untuk menemukan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah yang pada dekade terakhir ini perkembangannya cukup signifikan. Adapun untuk menguji tingkat keabsahan putusan hakim tersebut dari segi penerapan asas-asas hukum belum teruji dalam tataran akademis, sehingga hal ini perlu untuk terus dikaji.
Upaya hakim dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah dengan cara menggali norma-norma serta nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat melalui kitab-kitab fikih adalah merupakan bagian dari rechtvinding, dan itu dianjurkan jika tidak menemukan aturannya dalam undang-undang, karena pada diri hakim melekat prinsip ius curia novit (hakim dianggap mengetahui hukumnya), sehingga menurut azas hukum hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya.[14]
Seiring dengan momentum amandemen Undang-Undang tentang Peradilan Agama, maka muncul perubahan paradigma baru yakni Peradilan Agama dari peradilan keluarga menuju peradilan modern. Semula Peradilan Agama hanya menangani perkara-perkara sumir -sebagian besar masalah perceraian- kini dihadapkan pada perkara-perkara ekonomi syari’ah yang relatif baru dalam dunia ekonomi Indonesia, namun dalam perkembangannya cukup mempengaruhi konfigurasi ekonomi Indonesia. Oleh karena itu hakim dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah tidak cukup hanya berbekal pada doktrin hukum “fikih madzhab” yang merupakan produk nalar para imam madzhab sekitar tiga belas abad yang lalu, tetapi harus dibekali dengan undang-undang, mengapa? Kalau penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah hanya didasarkan pada madzhab fikih yang dianut oleh masing-masing hakim, itu sangat berbahaya karena akan menjurus pada suatu putusan yang berdisparitas tinggi dan tidak adanya kepastian hukum, karena masing-masing hakim akan berbeda madzhab, sehingga yang terjadi adalah pertarungan madzhab (meminjam istilah Yahya Harahap). Hal ini akan sangat merugikan para pihak pencari keadilan yang kebetulan madzhabnya juga berbeda. Putusan yang demikian bertentangan dengan azas legalitas (principle of legality). Oleh karena itu adanya undang-undang yang mengatur tentang ekonomi syari’ah menurut teori kontrak sosial adalah merupakan bagian dari upaya negara untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga negara pencari keadilan.
Pada dasarnya pelembagaan hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan merupakan tuntutan dari kenyataan nilai-nilai dan fikrah (pemikiran) umat Islam dalam bidang hukum, kesadaran berhukum pada syari’at Islam secara sosiologis dan kultural tidak pernah mati dan selalu hidup dalam sistem politik manapun, baik masa kolonialisme Belanda, Jepang maupun masa kemerdekaan dan masa pembangunan dewasa ini. Hal ini menunjukkan nilai-nilai ajaran Islam disamping kearifan lokal dan hukum adat memiliki akar kuat untuk tampil menawarkan konsep hukum dengan nilai-nilai yang lebih universal, yakni berlaku dan diterima oleh siapa saja serta di mana saja, karena Islam merupakan sistem nilai yang ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Syari’at Islam meskipun dalam realitanya telah membumi dan menjiwai setiap aktifitas sehari-hari bangsa Indonesia (khususnya umat Islam), dan banyak dijadikan acuan Hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara, namun belum merupakan undang-undang negara. Oleh karena itu pelembagaan hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah kegiatan di bidang ekonomi syari’ah merupakan suatu tuntutan kebutuhan hukum umat Islam, khususnya dan bagi para pelaku bisnis di bidang ekonomi syari’ah pada umumnya.
Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu berarti, muatan hukum yang berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan.
Pluralitas agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup menjadi alasan untuk membatasi implementasi hukum Islam hanya sebagai hukum keluarga. Dalam bidang muamalah (ekonomi syari’ah) misalnya, hukum perbankan dan perdagangan dapat diisi dengan konsep hukum Islam. Terlebih kegiatan di bidang ekonomi syari’ah di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami pertumbuhan yang signifikan, namun banyak menyisakan permasalahan karena belum terakomodir secara baik dalam regulasi formil yang dijadikan rujukan oleh Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan persoalan tersebut. Hal ini wajar, mengingat belum adanya hukum subtansial dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan ekonomi syari’ah sebagaimana Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Pembangunan hukum nasional secara obyektif mengakui pluralitas hukum dalam batas-batas tertentu. Pemberlakuan hukum adat dan hukum agama untuk lingkungan tertentu dan subyek hukum tertentu adalah wajar karena tidak mungkin memaksakan satu unifikasi hukum untuk beberapa bidang kehidupan. Oleh karena itu tidak perlu dipersoalkan jika terhadap subyek hukum Islam -yang melakukan kegiatan dibidang muamalah- diperlakukan hukum ekonomi syari’ah. Selanjutnya wajar pula dalam hubungan keluarga terkadang hukum adat setempat lebih dominan. Prinsip unifikasi hukum memang harus jadi pedoman, namun sejauh unifikasi tidak mungkin, maka pluralitas hukum haruslah secara realitas diterima. Idealnya pluralitas hukum ini haruslah diterima sebagai bagian dari tatanan hukum nasional.[15] Untuk memenuhi kebutuhan hukum terhadap bidang-bidang yang tidak dapat diunifikasi, negara dengan segala kedaulatan dan kewenangan yang ada padanya dapat mengakui atau mempertahankan hukum yang hidup dalam masyarakat, sekalipun itu bukan produk hukum negara, seperti hukum adat yang merupakan warisan nenek moyang, hukum Islam yang bersumber dari ajaran agama dan hukum Barat yang merupakan peninggalan kolonialis.[16]
Kaitannya dengan konsepsi wawasan nusantara yang mencakup perwujudan kepulauan nusantara sebagai suatu kesatuan politik, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan untuk mewujudkan kepulauan nusantara, ini dipandang sebagai satu kesatuan hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Namun bukan berarti pembangunan hukum nasional diarahkan pada unifikasi seluruh bidang hukum dalam satu kesatuan, tetapi unifikasi mengenai bidang-bidang hukum tertentu sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Ini berarti, bahwa bangsa Indonesia akan menyatu dalam bidang-bidang hukum yang sama yang mungkin disatukan, yaitu bidang-bidang hukum yang bersifat netral, dan akan berbeda dalam bagian-bagian hukum yang tidak sama yang sama sekali tidak mungkin disatukan, yaitu bagian-bagian hukum yang berjalin berkelindan dengan keyakinan agama yang pelaksanaannya dijamin oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Dus, pengaturan kegiatan di bidang ekonomi syari’ah dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang akan datang dilembagakan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Islam dalam mengamalkan ajaran agamanya, tidaklah bertentangan bahkan selaras dengan wawasan nusantara.
Prinsip negara hukum sebagaimana pasal 27 ayat (1) yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Persamaan di depan hukum di mana kepada seluruh warga negara diberikan pelayanan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Namun, bukan berarti pelembagaan hukum Islam bertentangan dengan prinsip di atas sebab bunyi Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yakni: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Jaminan UUD 1945 ini harus dipandang sebagai adanya kebebasan bagi kaum muslimin untuk melakukan aktifitas keperdataan sesuai dengan konsep syari’at Islam sebagai keyakinan yang dianutnya.[17]
Penafsiran terhadap Pasal 27 ayat (1) dengan Pasal 29 ayat (2) di atas, tidak perlu diletakkan pada posisi dikotomis dan kontradiktif, namun dalam hubungan lex generalis dan lex spesialis. Persamaan di depan hukum bagi seluruh warga, ini berlaku umum (lex generalis). Sedangkan semua penduduk diberi hak untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing, ini berlaku khusus (lex spesialis). Ada kekhususan hukum untuk pemeluk agama tertentu.[18] Demikian pula halnya bunyi Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004, bahwa Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang, sedangkan dalam Pasal 58 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2006 dalam bunyi yang sama dengan pasal di atas, berarti khusus tidak membeda-bedakan hukum antara orang-orang yang beragama Islam. Pendek kata, Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 adalah lex generalis, sedangkan Pasal 58 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2006 adalah lex specialis.[19]
Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 3 Tahun 2006 hasil amandemen dari UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan juncto Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992, UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji, UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan lain-lain, itu menunjukkan bahwa keberlakuan hukum Islam itu dalam posisi pilihan yang bebas berkehendak dan dapat dengan sepenuhnya tunduk berdasar kepada ajaran-ajaran akhlak Islam.[20]
Menurut Hazairin dan Moh. Daud Ali,[21] terhadap bunyi Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, ada dua penafsiran yakni:
- Dalam Negara Kesaturan Republik Indonesia (NKRI) tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama, baik kaidah-kaidah agama Islam bagi umat Islam, atau bertentangan dengan kaedah-kaedah agama Nasrani bagi umat Nasrani, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi umat Budha. Artinya adalah di dalam NKRI ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan dan atau diciptakan hukum yang bertentangan dengan norma-norma hukum agama dan norma kesusilaan bangsa Indonesia, yang berasal dari atau berdasarkan kaedah fundamental Ketuhanan Yang Maha Esa.
- NKRI wajib menjalankan hukum Islam bagi orang Islam, hukum Nasrani bagi orang Nasrani, dan hukum Hindu atau Budha bagi pemeluk agama Hindu atau Budha, selama agama tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara.
Makna dari dua penafsiran di atas, negara wajib menjalankan dalam arti menyediakan fasilitas dan kondisi yang kondusif, agar hukum yang berasal dari agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia dapat terlaksana sebaik-baiknya, sepanjang pelaksanaan hukum agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelenggara negara, seperti hukum muamalah (ekonomi syari’ah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat dan benda.
Mengingat semakin meningkatnya kesadaran kaum muslimin di satu pihak dalam menjalankan agamanya, dan di pihak lain dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan, maka dapat diperkirakan akan terjadi peningkatan frekuensi hubungan hukum di antara umat Islam dalam masalah-masalah ekonomi yang berbasis syari’ah.
Faktor sosial budaya juga mempunyai pengaruh penting dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia, dalam kenyataannya telah mewarnai produk-produk pemikiran hukum Islam, baik yang berbentuk kitab fikih, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, maupun fatwa-fatrwa ulama. Oleh karena itu, maka apa yang disebut hukum Islam dalam kenyataan yang sebenarnya adalah produk pemikiran hukum Islam yang merupakan hasil interaksi antara ulama sebagai pemikir dengan lingkungan sosialnya. Meskipun al-Qur’an dan as-Sunnah mempunyai aturan yang bersifat hukum, tetapi jumlahnya sangat sedikit di banding dengan jumlah persoalan hidup yang memerlukan ketentuan hukum, terutama dalam bidang muamalah yang belakangan ini jumlahnya meningkat pesat. Untuk mengisi kekosongan hukum itu, maka para ulama telah menggunakan akalnya yang menghasilkan fatwa produk pemikiran hukum yang ada sekarang ini. Apakah warna atau dinamika produk pemikiran hukum itu akan kita biarkan seperti apa adanya sekarang ini ?.
Produk pemikiran hukum yang berbentuk fatwa ulama sebagaimana yang dipakai landasan bagi pelaku bisnis di bidang ekonomi syari’ah, hanyalah bersifat kasuistik hanya sebagai respon atau jawaban terhadap permasalahan yang dimintakan fatwa. Dalam perpektif ilmu hukum, fatwa tidak mempunyai kekuatan mengikat, dalam arti bahwa pemberi fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum dari fatwa yang diberikan. Demikian pula masyarakat luas tidak harus terikat dengan fatwa ulama tersebut.[22]
Hadirnya hukum ekonomi syari’ah dalam ranah sistem hukum nasional merupakan pengejawantahan dari semakin tumbuhnya pemikiran dan kesadaran untuk mewujudkan prinsip hukum sebagai agent of development (hukum sebagai sarana pembangunan), agent of modernization (hukum sebagai sarana modernisasi) dan hukum sebagai a tool of social engineering (sarana rekayasa sosial)[23]. Namun dengan bertambahnya kewenangan tersebut belum diimbangi dengan kesiapan sarana hukum sebagai rujukan hakim dalam memutus perkara.[24] Oleh karena itu adanya produk legislasi yang mengatur tentang ekonomi syari’ah sudah sangat mendesak dan urgen yang pasti akan dirasakan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama.[25]
Keberadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ekonomi syari’ah yang akan datang adalah untuk mengisi kekosongan hukum subtansial yang dijadikan rujukan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, mengingat masih tersebarnya hukum materiil Islam khususnya yang berkenaan dengan ekonomi syari’ah di berbagai kitab fikih muamalah,[26] sehingga gagasan legislasi fikih muamalah dapat dipandang sebagai upaya unifikasi madzab dalam hukum Islam.[27]
Kedudukan undang-undang tentang ekonomi syari’ah nantinya adalah sebagai norma ukuran, kaidah hukum resmi dan baku bagi Pengadilan Agama, maupun masyarakat muslim dan para pencari keadilan sehingga terwujud: [28]
- Kesatuan landasan hukum (unified legal frame work) dan keseragaman pandangan hukum (unified legal opinion) sehingga dapat dihindarkan dan diperkecil putusan-putusan hukum yang berdisparitas tinggi dan bercorak “ketidakpastian”.
- Membina kepastian penegakan hukum, agar dapat direalisir kehidupan negara hukum dan supremasi “ rule of law” yakni keunggulan kekuasaan hukum.
- Memberi perlakuan yang sama (equal treatment ini smilar cases) sehingga undang-undang ekonomi syari’ah dapat dan mampu berperan menegakkan prinsip “Predictable” yakni dapat diperkirakan kebenaran putusan yang akan diberikan oleh hakim Pengadilan Agama.
Urgensi dari tulisan ini adalah untuk mengemukakan gagasan tentang pentingnya legislasi fikih muamalah yang mengatur tentang ekonomi Islam pasca amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa untuk memutus suatu perkara di pengadilan tidak cukup hanya berlandaskan fatwa ulama, pendapat para ahli fikih maupun kitab-kitab klasik yang berisi pendapat hukum para imam madzhab sekitar 13 abad yang lalu. Oleh karena itu legislasi fikih muamalah adalah sebagai upaya mempositifkan “nilai-nilai” hukum Islam yang berkenaan dengan ekonomi syari’ah secara terumus dan sistematis dalam “kitab hukum” atau positivisasi hukum Islam.[29]
Dengan demikian, kehadiran undang-undang yang mengatur kegiatan ekonomi syari’ah akan datang tidak perlu diperdebatkan lagi, karena kehadirannya di satu sisi untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, di sisi lain secara subtansial akan dijadikan sebagai landasan bagi hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Selanjutnya diperlukan intervensi negara dalam pembentukan dan pengaturannya karena berhubungan dengan ketertiban umum dalam pelaksanaannya.
Penutup
-
Pelembagaan hukum Islam dalam perjalanannya mengalami benturan dan pergumulan kepentingan, hal ini lazim karena pembuatan undang-undang bukan sekedar merumuskan materi hukum an sich, namun yang lebih penting adalah mengkalkulasi kekuatan politik terlebih dahulu.
-
Hukum Islam dalam eksistensinya tidak cukup hanya sebatas pengakuan sebagai sub sistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi hendaknya menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata-mata subtansinya, tetapi perlu legal formal dan positif, bukan sekedar legalisasi tetapi perlu legislasi.
-
Penambahan kewenangan Peradilan Agama menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari’ah belum dimbangi oleh adanya payung hukum yang memadai, sehingga apabila terjadi sengketa ekonomi syari’ah, hakim menggali norma-norma dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat melalui sudut pandang kitab-kitab fikih. Hal ini kurang kondusif bagi perkembangan hukum Islam karena memungkinkan lahirnya putusan berdisparitas dalam perkara yang sama dan mengaburkan kepastian hukum.
-
Sebagaimana teori kontrak sosial, Negara bertanggung jawab memberikan perlindungan hukum bagi para pencari keadilan, oleh karenanya memperhatikan kebutuhan yang ada, maka adanya undang-undang yang mengatur masalah ekonomi syari’ah adalah suatu keniscayaan, oleh karena itu diperlukan intervensi negara dalam pembentukan dan pengaturannya karena berhubungan dengan ketertiban umum dalam pelaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Ketua Pengadilan Agama Surabaya dan Dosen Pascasarjana Magister Hukum Ekonomi Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya.
[2] Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Th. XIV, al-Hikmah, 2003, hal. 74.
[3] Jazuni, Legislsi Hukum Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 9-10.
[4] Tjuk Wirawan, Politik Hukum di Indonesia, UPT Unej, Jember, 2004, hal. 8.
[5] Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, hal. 1-2.
[6] Zainal Abidin Abu Bakar, Pengaruh Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jurnal Mimbar Hukum No. 9 Thn. IV, Al-Hikmah, Jakarta, 1993, hal. 56.
[7] Cik Hasan Bisri, Transformasi Hukum Islam Ke Dalam Sistem Hukum Nasional, Jurnal Mimbar Hukum No. 56 Thn XIII, Al-Hikmah, Jakarta, 2002, hal. 31.
[8] Ibid, hal. 32.
[9] Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi Terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam (KHI), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Thn XIV, Al-Hikmah, Jakarta, Januari-Maret 2003, hal. 80.
[10] Daud Ali, Op.Cit., hal 242.
[11]Suhartono, Aktualisasi Hukum Islam dalam Masalah Perkawinan dan Kewarisan di Indonesia (Suatu Perspektif Sosio Kultural Historis), Jurnal Mimbar Hukum No. 54 Thn XII, Al-Hikmah, September-Oktober 2001, hal. 55.
[12] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, LKiS, Yogyakarta, 2005 hal. 53
[13] Taufiq, Nadhariyyatu al-Uqud al-Syar’iyyah (makalah pelatihan Tehnis Fungsional Peningkatan Profesionalisme bagi Para Ketua Pengadilan Agama se Jawa di Malang), Pusdiklat Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2 Mei 2006, hal. 1.
[14] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993, hal. 165.
[15] Todung Mulya Lubis, Cita-Cita Hukum Nasional dan RUUPA (Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), Pustaka Antara, Jakarta, 1990, hal. 107.
[16] Yusril Ihza Mahendra, Kedaulatan Negara dan Peradilan Agama (Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), Pustaka Antara, Jakarta, 1990, hal. 43.
[17] Rachmat Syafe’I, Tinjauan Yuridis Terhadap Perbankan Syari’ah, http://www.pikiran.rakyat.com/cetak/2005/0305/21/0802.htm. (diakses pada tanggal 21 Maret 2005).
[18] Ismail Suny, Sekitar UUPA ((Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), Pustaka Antara, Jakarta, 1990, hal. 114.
[19] Ibid hal. 117.
[20] Rachmat Syafe’I, Ibid.
[21] Moh. Daud Ali, Sikap Negara Dalam Mewujudkan Perlindungan Hukum Bagi Warga Negara dan Perkawinan Antar Pemeluk Agama yang Berbeda, Jurnal Mimbar Hukum No.5 Th.III, Al-Hikmah, Jakarta, 1992, hal. 65.
[22] Atho Mudzhar, Pengaruh Faktor Sosial Budaya Terhadap Pemikiran Hukum Islam, Jurnal Mimbar Hukum No. 4 Tahun II, Al-Hikmah, Jakarta, 1991, hal. 22.
[23]Neni Sri Imaniyati, Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam dalam Perkembangan, Bandung: Mandar Maju, 2002 hal : 70.
[24]M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam : Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, Mimbar Hukum edisi No. 5 Thn III, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Jakarta, 1992, hal. 26.
[25]Hartono Mardjono, Prospek Berlakunya Hukum Muamalah di Indonesia (Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH.), PP-IKAHA, Jakarta, 1994, hal. 336.
[26] M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 436.
[27] Ibid, hal 432.
[28] Matardi, Kompilasi Hukum Islam Sebagai Hukum Terapan di Pengadilan Agama, Mimbar Hukum edisi no. 24 thn VII, Al-Hikmah, Jakarta, 1996, hal. 31.
[29] M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 434.
Berita Terkait: