MEMPERTIMBANGKAN CENTIMETER CUBIC
Catatan : Amam Fakhrur
Pembaca mesti faham bahwa setiap kendaraan bermotor, mempunyai kapasitas CC (Centimeter Cubic) . Di dalam mesin terdapat sebuah silinder yang menyatakan CC dari motor itu. Dan di dalam buku petunjuk spesifikasi, besarnya isi silinder ditulis dengan Displacement CC. Beragam kapasitas CC kendaraan bermotor, sepeda motor misalnya, ada yang 100 CC, 125 CC, 150 CC sampai terbesar 300 CC. Semakin besar CC yang dimiliki semakin besar tenaga yang ditimbulkan. Karena CC adalah berpengaruh terhadap tenaga yang ditimbulkan, maka berapa patutnya kecepatan saat seseorang berkendara adalah harus disesuaikan dengan CCnya. Bila CC sepeda motor hanya 100 CC, yang kecepatannya maksimalnya adalah 100km/jam, kemudian motor dikendarai dengan kecepatan 150 km/jam, maka bisa rusak atau bahkan jebol mesin sepeda motor tersebut.
Dalam memaknai CC kaitannya dengan diri seseorang, adalah berarti segala daya kemampuan orang tersebut. Bila kecepatan dalam berkendara motor harus mempertimbangkan CC, maka tatkala seseorang beraktifitas haruslah sesuai dengan daya kemampuan yang dimiliknya, agar tidak terjadi kerusakan potensi dan kemampuan yang telah ada. Contoh sederhana, seseorang yang setiap bulannya berpenghasilan Rp.5.000.000,-, kemudian ia mengambil keputusan untuk memiliki mobil baru dengan cara mencicil setiap bulannya Rp.3.000.000,- maka rusaklah ekonomi dan keuangan keluarga, seluruh penghasilan setelah dikurangi untuk mencicil mobil, tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan selainnya, makan minum, membayar listrik, membayar SPP sekolah anak, keperluan kesehatan, membeli bahan bakar dan selainnya. Namun bila seseorang tersebut berpenghasilan Rp.10.000.000,-, sepertiganya untuk mencicil kendaraan adalah masih sesuai dengan daya kemampuan yang dimilikinya. Seseorang berolah raga seperti apa saja harus menyesuiakan dengan berapa umur, bagaimana kemampuan dan kesehatan organ tubuh. Olah raga yang berlebihan tanpa melihat kemampuan dapat mencelakakan bahkan dapat mematikan.
Jadi, berbuat apapun jenisnya, dengan mempertimbangkan kemampuan, sangatlah penting, agar terjadi keseimbangan (balance) antara kemampuan yang dimiliki dengan bobot aktifitas yang dilakukan. Beragam orang saat menggunakan kemampuannya, namun sesungguhnya memaksimalkan kemampuan untuk sesuatu aktifitas yang produktif adalah sangat diperlukan. Tuhan tanpa membedakan, siapapun manusia diberi waktu dalam seharinya sebanyak 24 jam. Tergantung manusia itu sendiri, berapa dan berkualitas volume apa dalam rentang waktu 24 jam tersebut. Sama-sama waktunya, bisa bervolume berbeda, bisa berbentuk emas, atau perak atau sekedar tembaga adalah terserah kepada manusia itu sendiri. Akan memilih bervolume apa memang harus juga dengan melihat kemampuan diri. Tetapi kalau memang sekiranya berkemampuan menjadikan waktu bervolume emas yang sangat bernilai itu, mengapa tidak memaksimalkan kemampuan untuk bervolume emas.
Allah SWT. menciptakan manusia untuk menjadi khalifah dan hamba di muka bumi mempunyai daya dan kemampuan masing-masing. Dan Allah menjadikan aturan (syari' ah) adalah telah disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki manusia dengan segala keterbatasannya. Perintah sholat lima waktu, berzakat, berpuasa sehari sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari, berhaji di bulan dzulhijjah adalah sesuai dengan takaran kemampuan umat Nabi Muhammad SAW. Demikian pula saat implementasi ajaran tidak serta harus dilakukan apa adanya secara normatif, namun ada ajaran yang disesuakan dengan kemampuannya (istitho’ah) dan kondisi obyektif yang terjadi.
Allah SWT.,berfirman dalam surat at-Taghobun, ayat 18: ”Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”. Dan dalam surat al-Baqarah,ayat 286 : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. Maka dalam Islam, tidaklah semua muslim yang mendapatkan pembebanan (mukallaf) secara apa adanya, tanpa melihat kondisi. Ada kondisi-kondisi tertentu yang Allah SWT memberikan keringanan (rukhshah) dalam menjalankan perintah-Nya. Seseorang yang sedang sakit atau bepergian (musafir) boleh tidak berpuasa dengan mengganti di hari lain, juga orang yang sedang sakit boleh sholat dengan duduk atau berbaring atau dengan isyarat sesuai dengan kondisi sakit yang dideritanya. Memaksa beribadah di luar batas kemampuan, hanya akan melahirkan keburukan (madlarat).
Ajaran yang semula melarang memakan sesuatu dapat berubah menjadi diperbolehkan, karena melihat kemampuan dan situasi. Dalam surat al-Baqarah, ayat 173, Allah SWT menyebut tentang bolehnya memakan bangkai dalam keadaan terpaksa, tidak ada makanan selain itu dan dikhawatirkan akan mengancam nyawanya. Dan kemudian teks wahyu tersebut melahirkan kaidah “yang darurat itu membolehkan yang dilarang”, “tidak ada dalam agama yang susah dan menyusahkan”, “kesulitan membawa kepada kemudahan”, “Islam bertujuan menghilangkan kesukaran dan kesulitan” Nafas dari keringanan-keringanan ini adalah untuk kebaikan manusia (limashlahatil ummah).
Berapapun kepasistas dan kemampuan yang dimiliki manusia, seharusnya dimaksimalkan, agar manusia berperadaban dan berderajat tinggi di mata sesama dan di mata Allah SWT. Entah mitos atau tidak, kaitannya dengan penggunaan otak, konon Albert Einstein pernah menyatakan bahwa manusia baru mempergunakan 10 % daya otaknya. Dan entah berapa persen manusia mengerahkan kemampuannya untuk menghamba diri kepada Tuhannya. Yang mengetahui berapa kemampuan diri kita, adalah diri kita sendiri, demikian juga yang mengetahui telah sejauhmana maksimalisasi kemampuan yang kita miliki adalah juga diri kita sendiri.
Apapun aktifitas kita, mempertimbangkan CC (kemampuan) adalah sangat diperlukan. Wallahu a’lam
Berita Terkait: